Kamis, 02 Desember 2010 | By: Babad Sunda

Pengrusakan Situs Trowulan Sampai Penemuan Candi di UII

Tepat tanggal 9 Januari 2009, Masyarakat Advokasi Warisan Budaya yang disingkat MADYA, muncul di publik dan memulai karyanya. Aktivitas MADYA berawal dari kegelisahan sejumlah orang muda terhadap kasus pengrusakan situs Trowulan, di Mojokerto – Jawa Timur oleh oknum pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Celakanya, lembaga BP3 yang seharusnya menjadi penjaga gawang terakhir pelestarian warisan budaya karena profesi keilmuannya justru menjadi inisiator utama pengrusakan situs Trowulan dengan dalih Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang rencananya menelan biaya 25 milyar rupiah. Dalam catatan MADYA, kasus Trowulan merupakan awal dari pembuka catatan pelestarian warisan budaya pada tahun 2009. Sementara itu dalam penghujung tahun 2009 tepat pada tanggal 11 Desember 2009 ditemukan candi di lingkungan kampus UII, daerah Umbulmartani, Ngemplak – Sleman.
Dua kejadian tersebut di atas merupakan kejadian yang sangat bertolak belakang sepanjang tahun 2009. Dalam perjalanan pelestarian warisan budaya sepanjang tahun 2009, banyak kejadian positif ataupun negatif di berbagai daerah di Indonesia yang di ekspos ke publik. Beberapa diantaranya telah menjadi perhatian MADYA dalam upaya pelestarian warisan budaya sepanjang tahun 2009.

A. Pendahuluan
Warisan Budaya merupakan dua kata terpisah yang menjadi satu, yaitu warisan dan budaya. Warisan berarti tinggalan (atau yang ditinggalkan) oleh yang sebelumnya untuk yang berikutnya. Sementara budaya, berasal dari kata budi dan daya, yang mempunyai arti hasil cipta, rasa dan karsa, yaitu suatu bentuk perwujudan ide yang diperoleh dari olah pikiran dan perasaan. Jika digabungkan, warisan budaya memiliki arti, tinggalan dari perwujudan ide (material) yang diperoleh dari olah pikiran maupun rasa. Jika disepadankan, maka warisan budaya sama halnya dengan ilmu pengetahuan, pemikiran, ide atau gagasan. Konteks kekinian, manusia biasanya menuangkan gagasan atau pikirannya melalui tulisan di buku. Tetapi bagaimana dengan zaman dahulu? Di zaman awal, buku tidak dikenal (baca: dari bahan kertas), manusia hanya dapat mengkomunikasikan gagasannya melalui simbol-simbol tertentu pada media tertentu. Dan manusia pada waktu itu sangat memahami simbol-simbol tersebut dan melekat pada keseharian mereka. Misalnya tulisan dinding goa di daerah Sulawesi Selatan. Artinya, tinggalan budaya merupakan perwujudan ide untuk mengkomunikasikan pesan pengetahuan ke manusia lain di pada masa lalu. Tinggalan budaya juga merupakan representasi dari sesuatu keadaan pada masanya, dan punya makna tertentu. Jadi Warisan budaya maupun buku merupakan sebuah media untuk mengungkap pengetahuan dari yang membuatnya. Bagaimana dengan Warisan Budaya yang berkembang di Indonesia? Fakta menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2009 kita masih disuguhkan dengan berbagai macam atraksi pelestarian warisan budaya, diantaranya kasus-kasus pengrusakan, pencurian, jual-beli (bisnis), revitalisasi illegal (tidak sah) bahkan pemalsuan terhadap warisan budaya masih ramai terjadi di negara kita. Walau disadari ada hal-hal positif yang telah dilakukan dalam melestarikan warisan budaya yang ada.
Banyaknya kejadian ataupun peristiwa yang ada sepanjang tahun 2009, menunjukkan masih rendahnya penghargaan kita terhadap warisan budaya bangsa. Adapun pelaku-pelakunya yaitu pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, masyarakat, ataupun pihak lainnya atas nama pembangunan ekonomi. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya kesadaran seluruh stakeholder dalam memahami arti penting pelestarian warisan budaya. Nilai-nilai yang terkandung dalam warisan budaya seperti sejarah, budaya dan pengetahuan lainnya merupakan sebuah dasar pijakan (baca: gravitasi) ataupun fondasi manusia Indonesia memulai kehidupannya dalam membangun bangsa ini. Fondasi yang kokoh akan melahirkan anak bangsa yang tangguh, dan tidak mudah terombang-ambingkan oleh pemahaman ataupun pengetahuan luar (negeri) yang tidak kita pahami asal-usul pengetahuannya, yang sebenarnya diperoleh dari pengalaman sosial budaya di negaranya masing-masing. Melestarikan warisan budaya merupakan salah satu prasyarat dalam membangun karakter dan memperkokoh jati diri bangsa. Indonesia terbentuk karena adanya kesadaran komunitas dari berbagai suku bangsa untuk menjalin persatuan dan kesatuan sebagaimana telah diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Jadi, sangat tidak pantas apabila negara tidak mengapresiasi atau justru memberangus nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat berbagai komunitas di daerah, yang nyata-nyata adalah sebagai entitas dasar berdirinya republik ini. Pembangunan ekonomi tidak dilarang sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan pembangunan kebudayaan.
Kebijakan yang tidak terintegrasi dan tidak berbasis partisipasi seluruh stakeholder (pemerintah, swasta, masyarakat) merupakan hal lain yang menjadi penyebab kurangnya kesadaran masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan warisan budaya bangsa. Harus diakui bahwa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang selama ini digunakan sebagai dasar pijakan dalam pelestarian warisan budaya yang bersifat sentralistis dan menjadikan masyarakat sebagai objek pembangunan, ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan semangat jamannya. Sudah 11 tahun orde baru berlalu sejak munculnya masa reformasi yang salah satu wacananya adalah desentralisasi, namun UU no.5 tahun 1992 tentang BCB masih saja belum direvisi. Ada beberapa hal yang mesti direvisi dalam Undang – Undang tersebut, diantaranya menyangkut pengertian umum dan batasan-batasan warisan budaya dan wilayah jangkauan penanganannya, kesesuaian penyelenggaraan pelestarian warisan budaya di era otonomi daerah, lembaga yang berwenang melakukan pelestarian warisan budaya, partisipasi masyarakat dalam pelestarian warisan budaya (perlunya pembagian peran antar stakeholder secara seimbang dan terintegrasi, dimana hal ini tidak terdapat dalam UU NO. 5 tahun 1992 tentang BCB), serta adanya sanksi yang jelas dan tegas bagi pelanggar UU.

B. Dasar Hukum dan Jaminan Pelestarian Warisan Budaya
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal kebudayaan juga diatur dalam konstitusi. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan mendapatkan tempat penting di negara ini dan menjadi hal yang secara serius mendapatkan perhatian. Kenyataannya dari sisi anggaran masih sangat minim yaitu sekitar 0,01 % dari total anggaran APBN 2009 untuk Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Sesuai dengan pagu definitif pada tahun 2009 usulan Pagu Definitif RAPBN TA 2009 Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI sebesar Rp 1,523 Triliun untuk diusulkan ke Panitia Anggaran DPR-RI, atau dalam Konstitusi atau peraturan yang mengatur tentang kebudayaan. Bahkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI pada tanggal 4 Januari 2010 mengatakan bahwa anggaran untuk kegiatan penelitian dan pemugaran warisan budaya HANYA 500 milyar rupiah dalam satu tahun, padahal idealnya membutuhkan biaya mencapai puluhan Trilyunan. Hal ini sangat ironis dengan anggaran Pendidikan mencapai 20% dari total APBN. Padahal, penelitian dan pemugaran menjadi bagian dari proses penggalian ilmu pengetahuan di masa lalu, agar tetap terpelihara secara baik di masa kini dan tetap menjadi sumber pengetahuan bagi anak-anak bangsa dalam melanjutkan tonggak estafek, yaitu terciptanya masyarakat yang damai, sejahtera, adil, dan makmur. Untuk itu perlu adanya upaya peningkatan anggaran dalam rangka penelitian-penelitian budaya maupun arkeologis dalam rangka mengungkap sejarah kebudayaan di masa lalu, diantaranya sistem pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya sehingga diharapkan menjadi pencerahan dalam bidangnya masing-masing dalam konteks kekinian dan masa yang akan datang.
Adapun dasar hukum terhadap pelestarian warisan budaya bangsa sudah diatur secara tegas didalam beberapa peraturan, walau disadari ada kelebihan maupun kelemahan produk kebijakan sebagaimana telah disampaikan di atas. Saatnya kini pemerintah dan anak-anak bangsa untuk membenahi, mengamalkan, dan melestarikan warisan budaya. Adapun produk kebijakan dan hukum dalam pelestarian warisan budaya, diantaranya :
1. UUD 1945 pasal 32 ayat 1 yang menyebutkan bahwa:
Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
2. UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
3. PP No. 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Dan masih ada peraturan-peraturan lain dibawahnya yang lebih bersifat teknis seperti keputusan presiden, keputusan menteri, perda propinsi maupun kabupaten/ kota.

C. Kasus dan Pola Kasus dalam Pelestarian Warisan Budaya Sepanjang 2009
Dalam kesempatan ini akan ditampilkan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan pelestarian warisan budaya. Peristiwa tersebut bisa saja berupa hal yang positif, tetapi juga bisa hal yang negatif. Kejadian yang akan disampaikan disini adalah peristiwa yang ditangani oleh MADYA ataupun peristiwa yang muncul ke publik dan sempat direkam oleh MADYA.
Adapun fakta yang terjadi pada pelestarian warisan budaya yang muncul sepanjang tahun 2009 yaitu:

1. Pengrusakan Situs Trowulan Akibat Pembangunan PIM
“Niat hati untuk membangun informasi tentang peradaban Majapahit secara lengkap, apa daya nafsu yang sangat besar telah mengarahkan pikiran untuk merusak Situs besar tadi”. Barangkali ini adalah kata yang tepat mewakili ketidak-independenan oknum Pimpinan BP3 Jawa Timur mewakili institusi dan dasar keilmuannya dalam rangka kegiatan pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) tepat waktu sebelum pemilu 2009 dilaksanakan. Pembangunan yang didanai oleh APBN sebesar dua puluh milyar rupiah dengan penanggungjawabnya adalah Menbudpar RI, berhasil mengoyakkan integritas diri dan anggotanya yang lain sesama Arkeolog untuk menghancurkan situs yang seharusnya dijaga dengan baik. Tindakan penelitian tidak dilakukan sepenuhnya dalam proyek ini. Benda hasil temuan saat penggalian tidak diperlakukan sesuai dengan kaidah ataupun prinsip penelitian arkeologi. Tidak ada bedanya dengan memperlakukan sampah.
Sampai saat ini, kasus hukum terhadap permasalahan ini belum ada kejelasan kapan diselidiki dan disidik. Terkait bukti, berdasarkan fakta dilapangan dan pendapat para ahli yang telah didokumentasikan oleh berbagai media sebenarnya bisa dijadikan alasan bagi pihak kepolisian untuk meneruskan proses penyelidikan dan penyidikan, tanpa adanya pengaduan dari masyarakat.
MADYA (berdasarkan masukan peserta diskusi yang terdiri dari ahli arkeologi maupun ahli hukum) pernah mengirimkan surat tentang permintaan dan usulan menindaklanjuti proses hukum pengrusakan Situs Trowulan kepada pihak berwajib pada tanggal 24 Maret 2009 kepada TIM Evaluator bentukan Menbudpar RI dan ditembuskan ke Menbudpar RI. Kemudian surat mempertanyakan kasus Trowulan termasuk proses hukumnya juga pernah dikirim MADYA ke Menbudpar RI dan Kepolisian RI yang ditembuskan kepada Presiden RI, DPR RI, DPD RI, namun tidak mendapat tanggapan sampai saat ini.

2. Kasus Penghancuran bangunan Masjid Perak Kotagede
Berawal dari kejadian bencana gempa bumi di wilayah DIY – Jateng tahun 2006. dimana terdapat salah satu dari dua masjid Muhammadiyah rusak karena gempa yaitu masjid Perak Kotagede. Kerusakan Masjid Perak Kotagede sebenarnya masih bisa diperbaiki. Namun dengan secara sepihak pihak takmir masjid membongkar seluruh bangunan masjid di bongkar tanpa diketahui oleh pengurus cabang Muhammadiyah Kotagede yang mempunyai tanggung jawab langsung atas keberadaan masjid tersebut. Masjid Perak Kotagede sendiri merupakan masjid pertama komunitas Muhammadiyah (1912) di Kotagede yang didirikan pada tahun 1938 di atas tanah yang dibeli oleh Kyai Amir, Kyai Muhsin, dan Kyai Mudzakir. Penamaan Masjid Perak muncul karena masjid ini dibangun dengan dukungan dana para pengusaha perak yang pada masa itu berada dalam masa-masa kejayaan. Orang-orang Kalang yang kaya raya di Kotagede pun ikut ambil bagian dalam pendanaan pembangunan masjid di masa kepengurusan yang dipimpin oleh Kyai Mashudi itu, sehingga mewujudkan Masjid Perak sebagai monumen kebersamaan di Kotagede. Dan saat ini mesjid tersebut sudah rata dengan tanah.

3. Jual – Beli Rumah Tradisional Kotagede
Jual beli dan pembongkaran rumah tradisional di Kotagede bukan hanya terjadi pada tahun 2009. Kegiatan ini sudah berlangsung dari tahun-tahun sebelumnya. Adapun motif yang melatar-belakangi tidak selalu karena motif ekonomi, tetapi juga karena ketidakmampuan mengurusi dari para ahliwaris (biasanya harta hanya satu rumah joglo, tapi harus di bagi kepada dua atau lebih orang ahli waris. Hal ini merepotkan dan bisa berpotensi konflik). Atas dasar inilah pada bulan Agustus 2009 MADYA pernah melakukan diskusi publik untuk mempertanyakan keabsahan jual-beli benda cagar budaya? Legal ataupun illegal. Menurut ketentuan perundang-undangan yang ada, Benda Cagar Budaya sebenarnya dapat diperjualbelikan sepanjang tidak menyalahi ketentuan UU.

4. Klaim Budaya Tari Pendet
Munculnya Tari Pendet dalam iklan promosi pariwisata Malaysia pada stasiun televisi swasta internasional Discovery Channel merupakan satu tamparan keras bagi Indonesia dalam pengelolaan warisan budaya, termasuk pariwisata. Melalui kasus ini, ternyata setidaknya ada 32 warisan budaya bangsa yang di klaim oleh pihak asing, termasuk Tari Pendet Bali. Dari ke-32 warisan budaya tersebut, 21 di antaranya diklaim oleh Malaysia. Sebut saja naskah-naskah kuno (dari riau, sumatera barat, sulawesi selatan, dan sulawesi tenggara); lagu-lagu daerah (rasa sayang’e –Maluku, kakak tua – Maluku, soleram – Riau, injit-injit semut – Jambi, jali-jali – Betawi, anak kambing saya – Nusa Tenggara, indang sungai garinggiang – Sumatera Barat); tari-tarian (Reog – Ponorogo, tari piring – Sumatera Barat, kuda lumping – Jawa Timur); alat musik (gamelan – Jawa dan angklung); makanan (rendang – Padang); badik tumbuk lada dari Kepulauan Riau, Deli, dan Siak (alat perang); Kain Ulos dari tanah Batak beserta kain motif batik parang dari Yogyakarta. Dan yang terakhir ini adalah klaim tari pendet dari Bali sebagai kekayaan pariwisata Malaysia. Klaim yang dilakukan oleh Malaysia adalah sebagai bagian untuk mengukuhkan Slogan Mereka ”Truly Asia”. Banyak masyarakat memprotes langkah Malaysia tersebut, sampai muncul keinginan untuk mem-paten-kan dan meng-HAKI-kan setiap kekayaan budaya yang ada di Indonesia.

5. Permasalahan BMKT
Mencuatnya berita perburuan harta karun di daerah Sungai Musi – Palembang dan wilayah laut di daerah lain di Indonesia tentu mengundang perhatian bagi Masyarakat Advokasi Warisan Budaya untuk didalami lebih jauh. Setelah ditelusuri banyak kasus yang bermunculan kepermukaan. Mulai dari mafia-mafia laut yang terlibat dan berteman dengan oknum aparat (berdasarkan informasi Dokumentasi photo dari informan MADYA), permasalahan produk hukum Keppres yang ’kedudukannya lebih tinggi’ dibandingkan UU No. 5 tahun 1992 tentang BCB, persoalan dokumentasi untuk kegiatan survei dan pengangkatan BMKT, serta pemecatan pejabat pemerintah pengawas BMKT bahkan pernah tercatat memakan korban jiwa dalam kasus BMKT.
Perburuan harta karun di Sungai Musi yang muncul dalam pemberitaan media sekitar bulan Agustus – September 2009 dilakukan oleh masyarakat penyelam tradisional ssetempat dengan menggunakan kompresor dan melakukan penyelaman hingga kedalaman 15 meter. Alasannya sederhana yaitu motif ekonomi. Kisah ini berawal ketika tersiar kabar bahwa salah seorang penyelam pernah mendapatkan sebuah arca yang terbuat dari emas dan dijual seharga 3 (tiga) Milyar rupiah. Angka yang sangat besar tentunya bagi masyarakat di sekitar pinggiran Sungai Musi yang umumnya pas-pasan. Warga semakin semangat melakukan pencarian ketika mereka mendengar informasi dari salah seorang staf Balar Palembang bahwa dahulunya terdapat kapal VOC yang karam pada abad 18 yang lalu. Penemuan terhadap BCB di perairan Sungai Musi bukanlah pertama kali terjadi. Banyak masyarakat yang saat ini masih menyimpannya di rumah atas benda hasil temuannya. Bagaimana dengan Pannas BMKT? Sampai saat ini belum ada andil dalam menyikapi kasus tersebut, kecuali oleh Balai Arkeologi Palembang.

6. Gempa Rusakkan BCB di Sumatera Barat
Berdasarkan Hasil Tim Survei Kerusakan Benda Cagar Budaya (BCB) Pasca-gempa Sumbar yang berkekuatan 7,6 Skala Richter Sebanyak tiga rumah gadang pasa sebagai bangunan cagar budaya (BCB) di Kota Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar) rusak. Tiga rumah gadang pasa tersebut masing-masing rumah gadang Panjang (rusak berat) , rumah Induk (rusak ringan), dan rumah Tinggi (rusak berat). Rumah adat sebagai bangunan cagar budaya Kota Pariaman ini adalah milik pribadi dan menjadi salah satu daya tarik wisata. Sementara itu, Di lima kawasan Kota Padang yakni Batang Arau, Pasar Mudi, Pasar Malintang, dan Pasar Gadang tingkat kerusakan mencapai 80%. . Sedangkan di kawasan Pasar Batimpuk, bangunan BCB yang rusak hanya sebagian. Kelima kawasan yang disurvei tersebut merupakan daerah yang mempunyai tinggalan bangunan BCB di masa Kolonial Belanda sekitar 50 unit bangunan. Umumnya kerusakan terjadi pada struktur bangunan. Gedung Perpustakaan dan Arsip Nasional Sumbar juga dalam kondisi rusak berat bahkan ambruk. Bangunan lain yang juga menyimpan berbagai koleksi sejarah yakni Museum Adityawarman mengalami rusak ringan bagian belakang sedangkan Taman Budaya Sumbar rusak di bagian luar.

7. Rencana Pendirian Yap Square
Dalam rangka untuk peningkatan dan pengembangan Rumah Sakit Mata Dr Yap, Yayasan Yap Prawirohusodo mencoba mengambil inisiatif membuat rencana membangun YAP Square di lahan kosong yang terdapat di sisi barat rumah sakit atau yang biasanya dikenal dengan Bale Mardi Wuto. Bale ini dahulunya digunakan sebagai area tempat tinggal, latihan keterampilan dan pendidikan computer Braille bagi para tunanetra untuk meningkatkan perekonomian para tuna netra. Permasalahan muncul karena adanya perbedaan pandangan memahami bangunan Bale Mardi Wuto sebagai BCB atau tidak. Pihak yayasan berpendapat bahwa bangunan Mardi Wuto bukanlah yang diusulkan sebagai BCB sebagaimana tertulis Permenbudpar RI No: PM.25/PW.007/MKP/2007. Namun pihak Depbudpar RI melalui unit teknis BP3 Yogyakarta mengatakan bahwa bangunan tersebut merupakan BCB dan menjadi satu kesatuan dengan kawasan budaya yang ada di sekitar terban terutama dengan bangunan RS Dr Yap. Sampai saat ini pendirian Yap Square masih menjadi polemik.
Sebagaimana diketahui, Dr Yap merupakan generasi anak bangsa yang telah memiliki pikiran besar jauh sebelum adanya Indonesia merdeka atau beberapa tahun sebelum ikrar sumpah pemuda disuarakan. Tepat pada tahun 1923, Dr Yap mendirikan Rumah Sakit Mata Princess Juliana. Dan pada tahun 1926, bersama dengan rekan-rekannya melahirkan satu yayasan lagi yang terkoordinasi dengan rumah sakit yaitu untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat tunanetra. Boleh dikatakan bahwa konsep Pemberdayaan Masyarakat (Community Development) sudah menjadi komitment Dr Yap untuk memandirikan bangsanya, khususnya tuna netra. Dan boleh jadi pula, konsep pemberdayaan masyarakat merupakan hal pertama di Indonesia ketika itu. Dedikasi serta komitmen kebangsaan yang tinggi, sudah selayaknyalah di apresiasi kepada Dr Yap. Apresiasi masyarakat dengan menamai rumah sakit sebagai Rumah Sakit Mata Dr Yap tentunya tidak berlebihan. Tentu, gelar pahlawan selayaknya pula diberikan kepadanya.

8. Revitalisasi Tugu Yogyakarta
Revitalisasi Tugu Yogyakarta telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta senilai Rp 300 juta. Berdasarkan pengakuan Kepala Kimpraswil, rencana itu telah dirembugkan dan disetujui oleh pihak kraton, dewan kebudayaan, dan budayawan yang ada termasuk Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Yogyakarta. Adapun wujud revitalisasi yang dilakukan yaitu pengecatan, penambahan warna prada (keemasan pada bagian tertentu), dan jalan sekitar dibangun untuk diperindah dan kental imej masa lalu, disinari lampu tercanggih, termasuk pembuatan uang gulden di atas tugu. Sebagaimana diketahui bersama 32 BCB lainnya, tugu ditetapkan sebagai BCB melalui Permenbudpar RI No: PM.25/PW.007/MKP/2007. Dan dalam peraturan menteri tersebut, yang sepenuhnya mengacu pada ketentuan UU no. 5 tahun 1992 tentang BCB, secara tegas dikatakan adanya pelarangan mengubah bentuk, warna, merusak, memisahkan bagian atau keseluruhan BCB, memanfaatkan untuk kepentingan yang menyimpang dari kepentingan semula, serta mendirikan dan/atau menambah bangunan pada tanah yang berada di lingkungan bangunan. Dengan tidak ada ijin dari menteri sebagai pembuat SK.25/2007 tersebut, tentu merupakan sebuah pelanggaran dan hal itu sudah jelas sanksi hukumnya. Dan sudah seharusnya aparat aparat melakukan langkah—langkah hukum untuk menyelidikinya. Karena jelas, bahwa keberadaan BCB tersebut dilindungi oleh negara melalui UU yang ada.

9. Hilangnya Kepala Arca Dyani Budha dan Arca Bodhisattwa
Pada tanggal 24 November 2009, petugas BP3 Jawa Tengah melaporkan kejadian hilangnya kepala arca Dyani Budha dan Arca Bodhisattwa kepada pihak kepolisian sektor prambanan – Klaten. Kejadian ini tentunya sangat mengejutkan dan menjadi perhatian serius bagi pihak kepolisian. Dilihat dari modus pencurian, sebelum dicuri kepala arca dyani Budha terlebih dahulu di potong. Kejadian ini tentunya merupakan peringatan bagi pemerintah, bahwa ternyata keamanan terhadap situs atau BCB masih sangat lemah. Tentu hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi pelestarian budaya. Di samping itu, dengan hilangnya BCB sama saja menghilangkan bukti sejarah/arkeologi/budaya sangat berpengaruh terhadap ilmu pengetahuan.

10. Penemuan Candi di UII Yogyakarta
Tepat dipenghujung tahun 2009, yaitu 11 Desember 2009, pihak UII menemukan candi di lokasi pembangunan perpustakaan UII di daerah Sleman Yogyakarta. Penemuan ini berawal dari aktivitas penggalian tanah dengan menggunakan alat Beckho disaat akan menggali pondasi bangunan perpustakaan UII Yogyakarta. Penemuan tersebut kemudian dilaporkan ke pihak BP3 Yogyakarta dan kemudian ditindaklanjuti BP3 keesokan harinya 12 Desember ke lokasi. Berdasarkan hasil survey, kemudian diadakan kesepakatan dengan UII untuk melakukan ekskavasi awal selama dua minggu. Pihak UII sendiri sangat kooperatif dengan adanya temuan ini. Dan menganggap bahwa hal ini merupakan temuan yang sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan serta dinyatakan sebagai milik publik. Terkait dengan administrasi dan pengelolaannya masih dibicarakan lebih lanjut. Dan apabila memang harus dilakukan penelitian lebih lanjut, pihak UII juga tidak keberatan jikalau harus memindahkan lokasi pembangunan perpustakaan.

D. Pembacaan dan Rekomendasi
D.1. Pembacaan atas kejadian selama tahun 2009
Setelah mencermati perkembangan tentang kasus-kasus yang terjadi dalam pengelolaan warisan budaya bangsa sepanjang tahun 2009, MADYA melihat ada dinamisasi dalam pelestarian warisan budaya melalui kejadian-kejadian yang berhasil direkam dan di advokasi oleh MADYA. Kasus Trowulan sebagai awal pembuka tahun 2009 menjadi catatan buruk bagi upaya pelestarian warisan budaya. Adapun proses pembangunan dilakukan menyalahi prosedur dan ketentuan yang ada dari sudut pandang arkeologi. Dan hal ini jelas-jelas telah melanggar hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat. Dikhawatirkan, belum berjalannya hingga saat ini proses hukum terhadap oknum-oknum pejabat pelaku pengrusakan akan menjadi preseden buruk bagi pelestarian warisan budaya bangsa. Trowulan merupakan situs besar, dan menjadi inspirasi bagi terbentuknya negara Indonesia. Bahkan simbol-simbol negara diambil dari sejarah masa kejayaan Majapahit yang berhasil direkam oleh para peneliti dan the founding fathers pendiri republik ini. Sebut saja bendera merah putih, semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, serta sumpah Gadjah Mada tentang penyatuan nusantara menjadi inspirasi bagi pendiri negara. Keberadaan TIM Evaluator belum mampu menjawab harapan dan keinginan masyarakat luas untuk menuntaskan masalah ini. Polisi yang seharusnya berperan aktif dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus yang sudah mencuat ke publik, tentunya perlu menindaklanjutinya. Untuk menghindari kejadian ini dikemudian hari, perlu dilakukan upaya penanganan serius untuk membenahi Trowulan dan melakukan proses hukum yang adil bagi para pelakunya.
Kasus yang terjadi di Masjid Perak Kotagede. Persoalan manajemen masjid merupakan persoalan manajemen internal Muhammadiyah, namun demikian masjid sebagai simbol sejarah Muhammadiyah, baik langsung ataupun tidak akan menjadi persoalan publik, terutama dilihat dari kaca mata pelestarian. Pembongkaran Masjid Perak Kotagede yang bersejarah tersebut, hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi terhadap pelestarian warisan budaya bangsa belumlah maksimal. Hal ini juga dialami Pengurus Dr Yap Prawirohusodo yang mempertanyakan tentang prosedur penetapan BCB tentu merupakan tambahan dimana ternyata upaya penyadaran publik belumlah sepenuhnya menjadi prioritas pemerintah. Masyarakat masih dijadikan objek dari kegiatan pelestarian warisan budaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI yang diharapkan membawa angin segar bagi pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya, justru lebih banyak berbicara bagaimana menambah wisatawan yang berkunjung ke tempat-tempat pariwisata di Indonesia.
Tidak adanya blue print tentang konsep dan strategi kebudayaan kita menjadi akar persoalan tidak optimalnya upaya pelestarian warisan budaya. Rencana pembangunan YAP Square telah memberikan pelajaran penting tentang kesadaran pihak pemilik akan prosedur yang ada. Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan kontraprestasi atau hak yang seharusnya diterima masyarakat karena telah melakukan pemeliharaan terhadap situs atau BCB yang ada. Pada bagian lain, kejadian YAP seharusnya dapat dijadikan pelajaran, bagaimana pemerintah juga turut memikirkan dan membantu penyelesaian permasalahan lembaga sosial (salah satunya rumah sakit Dr Yap) yang dimiliki pihak swasta atau pribadi yang dipergunakan untuk kepentingan publik. Di samping itu, sebagai kawasan, situs atau BCB, sudah seharusnya pemerintah juga memberikan bantuan seperti keringanan/ penghapusan pajak, biaya pemeliharaan, dan asistensi untuk kegiatan-kegiatan pengembangan kawasan.
Dalam konteks kebijakan, kebijakan yang ada belum mampu mengintegrasikan partisipasi seluruh pihak terhadap pelestarian warisan budaya bangsa. Bahkan ada Keppres yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Undang-Undang, sebagaimana hal ini terjadi dalam pengelolaan BMKT di tanah air. Dalam UU jelas dikatakan bahwa BCB di bawah air itu mnejadi kewenangan utama menteri yang mengurusi bidang kebudayaan (dalam hal ini Menbudpar RI). Sementara, dalam Keppres no. 12 tahun 2007, Presiden memberikan kewenangan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan RI sebagai leading sector bagi pengelolaan BCB bawah air yang kemudian dikenal dengan BMKT. Adanya perbedaan kewenangan antar departemen pada satu sisi, dan adanya kepentingan yang sama di sisi dijadikan sebagai lahan rebutan untuk memimpin institusi BMKT. Depbudpar RI merasa bahwa itu menjadi kepentingannya karena BMKT adalah BCB. Sementara itu, DKP RI merasa bahwa itu merupakan kekayaan laut yang merupakan kewenangannya untuk mengolah.
Tugu Yogyakarta yang beberapa hari belakangan ini mendapat kritik dari masyarakat, karena revitalisasi Tugu Yogyakarta menjadi satu persoalan yang mewakili pelestarian warisan budaya dalam konteks otonomi daerah. Munculnya kesadaran daerah terhadap upaya pelestarian warisan budaya adalah suatu hal yang harus diapresiasi positif. Namun, jikalau niat pelestarian warisan budaya harus melanggar hukum, hal tersebut bukanlah pendidikan publik yang baik. Karena melalui kebijakan yang ada, masyarakat atau siapapun diberikan kesempatan untuk melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dan atau melakukan revisi. Dan ini merupakan tindakan yang semestinya dijadikan contoh oleh pemerintah itu sendiri, bukan justru melanggarnya.
Hilangnya Kepala arca dyani Budha dan arca bodhisattwa menunjukkan bahwa keamanan BCB di lokasi situs menjadi satu permasalahan serius yang perlu dicari jalan keluarnya. Terhadap hal tersebut kiranya perlu diupayakan untuk meningkatkan keamanan terhadap warisan budaya bangsa. Pencurian Arca, sebenarnya hanyalah menguntungkan pihak kolektor. Justru orang yang mencuri dan penadah, berdasarkan pengalaman yang ada dibeli dengan harga yang sangat murah. Dan ini ironis ketika kolektor menjual benda kuno bisa sampai milyaran rupiah, tegantung nilai sejarah, kelangkaan, dan keunikannya. Kegiatan pengrusakan, pencurian, jual – beli bahkan pemalsuan arca seringkali bermotif ekonomi, walau memang ada pengalaman lain dalam kasus jual-beli rumah joglo di Kotagede adalah untuk menghindari konflik sesama ahli waris. Ekonomi biasanya menjadi alasan utama untuk melakukan tindakan destruktif terhadap warisan budaya bangsa. Bahkan tidak segan-segan bisa berdampak kematian apabila ada yang menghalangi niat tersebut. Sebut saja Santosa Pribadi yang meninggal saat penyelaman BMKT di era 1990an dan juga meninggalnya Lambang Babar Purnomo saksi ahli pemalsuan arca museum Radya Pustaka Solo pada bulan Februari 2008 yang disinyalir ada hubungannya dengan pekerjaan mereka.
Alasan minimnya anggaran, tentunya bukanlah cara untuk kemudian tidak melakukan apapun. Memang diakui, anggaran penelitian dan pelestarian warisan budaya sangat minim, dan kini saatnya pemerintah melakukan tindakan nyata menaikkan anggaran dalam upaya pembangunan kebudayaan sebagai upaya memperkokoh jati diri bangsa. Hal ini tidaklah berlebihan. Sebut saja warisan-warisan budaya yang diklaim oleh pihak asing, salah satunya tari Pendet. Pelestarian tari pendet yang aslinya adalah tarian Bali di Malaysia sebagai bagian untuk meningkatkan posisi tawar iklan kunjungan wisata ke Malaysia di stasiun televisi Discovery Channel, walau tanpa ijin pemerintah RI. Tentu hal ini mendapat kecaman dan protes dimana-mana. Bahkan banyak pihak mengusulkan untuk segera menginventarisir seluruh warisan budaya yang ada di Indonesia dan mem-paten-kannya. Hal ini sah-sah saja. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah RI mampu mengelola dan mengembangkannya secara baik tanpa harus merusak warisan budaya yang ada demi kepentingan pembangunan ekonomi. Karena ternyata kegiatan pelestarian warisan budaya bisa berdampak terhadap perekonomian bangsa yang sangat luar biasa. Dan itulah alasan Malaysia melakukan tindakan klaim sepihak terhadap kekayaan budaya Indonesia.
Kejadian gempa bumi di Sumatera Barat atau sebelumnya di Aceh, Nias, Jogja-Jateng, dan daerah lainnya memberi pelajaran berharga bagi kita betapa banyak warisan budaya yang hancur karena peristiwa alam tersebut. Dan tentu diperlukan upaya untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap bangunan ataupun BCB yang ada. Sementara itu, di lain sisi Undang-Undang No.24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana belum secara tegas mengatur permasalahan warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat yang diakibatkan karena bencana. Untuk itu, revisi menjadi sangat penting dilakukan terhadap UU tersebut. Kearifan masyarakat menyesuaikan diri dengan lingkungannya sudah terbukti dapat menjadi jembatan untuk mengurangi resiko bencana. Sebut saja rumah panggung. selain didirikan untuk menghindari binatang buas, dapat juga diperuntukkan untuk tanggap bencana alam seperti gempa bumi dan banjir.
Penemuan Candi UII, boleh jadi sebagai penutup tahun 2009. Partisipasi masyarakat, khususnya pemimpin proyek dalam memberitahukan BCB kepada BP3 Yogyakarta merupakan apresiasi positif yang pantas diucapkan selamat. Begitu juga keterbukaan proses ekskavasi kepada publik yang dilakukan oleh BP3 pantas disampaikan penghargaan, karena ternyata institusi BP3 sudah sangat memahami UU tentang keterbukaan informasi publik. Ini salah satu langkah mengenalkan proses penemuan benda cagar budaya kepada masyarakat luas, tidak saja dalam bentuk pameran yang sangat kaku. Namun satu hal yang perlu dicermati adalah, bahwa kemungkinan dari sekian banyak orang yang hadir dalam penggalian, bukan tidak mungkin kolektor yang ingin memiliki koleksi BCB hasil temuan secara illegal. Tentu menjadi penting paradigma pelestarian budaya diangkat ke ranah publik, agar tumbuh minat dan partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian warisan budaya.
Dari beberapa kasus yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat bahwa kasus pengrusakan, pencurian, dan pemalsuan warisan budaya, ada beberapa pola diantaranya: pertama, adanya pembiaran aparat pemerintah dan jajarannya terhadap pelaku pengrusakan/pencurian/pemalsuan benda warisan budaya, karena pada umumnya tidak ada proses hukum terhadap pelakukanya, kedua, dilakukan oleh masyarakat sendiri karena ketidaktahuan, disengaja, dan untuk memperkaya diri sendiri, dan ketiga adanya kebijakan yang dilakukan institusi negara sendiri. Umumnya tindakan negatif, seperti pencurian, pengrusakan, dan jual-beli tidak sah dilakukan karena motif ekonomi dan mengatasnamakan untuk kesejahteraan rakyat.

D.2. Rekomendasi
Melihat beberapa kejadian dan fakta yang disampaikan di atas terhadap pelestarian warisan budaya bangsa, ada beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan adalah:
• Perlunya membuat blue print konsep dan strategi kebudayaan Indonesia yang jelas dan mengedepankan prinsip pelestarian.
• Lembag Eksekutif maupun Legislatif negara segera merevisi UU no. 5 tahun 1992 tentang BCB agar ada satu pemahaman yang jelas tentang produk hukum dan aturan main pelestarian warisan budaya hingga pada level teknis dan dapat dijadikan acuan bagi terbentuknya Perda-perda pelestarian Warisan Budaya
• Mendorong pemerintah untuk melakukan pengelolaan warisan budaya yang partisipatif dan terintegrasi dengan memetakan peran masing – masing stakeholder secara sinergis (lihat lampiran).
• Mendesak Pemerintah maupun Pemerintah Daerah untuk konsisten melestarikan warisan budaya yang ada termasuk menindak setiap pelanggaran hukum atas warisan budaya yang ada di tanah air sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
• Meningkatkan pengamanan terhadap situs dan kawasan cagar budaya.
• Permasalahan tentang BMKT merupakan permasalahan yang akan selalu ada selama kita tidak memperkuat SDM yang ada serta membenahi sistem manajemennya. Dalam konteks pengelolaan warisan budaya bawah air, sudah saatnya kita mempertimbangkan untuk merativikasi kovenan internasional tahun 2001 tentang Pelestarian Arkeologi bawah air dan menguatkan pemahaman bahwa BMKT tidak sepantasnya semata-mata dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi.
• Menambahkan anggaran penelitian terhadap warisan-warisan budaya bangsa dan melibatkan partisipasi masyarakat luas.
Akhirnya, Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) sangat mengharapkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah RI untuk tetap melakukan pelestarian warisan budaya secara baik di tahun 2010 dan meninggalkan sikap-sikap yang justru memperlemah upaya-upaya pelestarian warisan budaya. MADYA juga sangat mengharapkan peran aktif dari seluruh pihak baik pemerintah RI, DPR RI, Pemerintah daerah, DPRD, masyarakat maupun pihak swasta lainnya untuk melanjutkan tindakan pelestarian warisan budaya dengan harapan akan berdampak positif bagi pembentukan karakter bangsa dan memperkokoh jati diri bangsa.

Salam Budaya…!!!
Yogyakarta, 9 Januari 2010

Ttd

Joe Marbun

Referensi:
1. http://www.budpar.go.id/page.php?ic=511&id=5130
2. Kliping dari Blog: www.elantowow.wordpress.com
3. http://www.antaranews.com/berita/1254823424/gempa-rusakkan-bangunan-cagar-budaya-sumbar
4. Makalah pada presentasi Diskusi MADYA 12 September 2009 di PSAP UGM. ”Pannas BMKT: Solusi Atau Sekedar Euforia? (Sekelumit catatan tentang BMKT)” Oleh : Jhohannes Marbun.
5. Akses internet tanggal 24 Agustus 2009 dari website http://budaya-indonesia.org/iaci/Data_Klaim_Negara_Lain_Atas_Budaya_Indonesia
6. Makalah: “Pengelolaan Warisan Budaya Terintegrasi” disampaikan dalam seminar Nasional MADYA tanggal 13 Juni 2009 di Yogyakarta Oleh Haris Shantanu.
Catatan Pelestarian Warisan Budaya Sepanjang 2009

Jika menurut Anda artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.

1 komentar:

target='_blank'>ASTANA BAGUS mengatakan... [Reply to comment]

Untung Candi dan Patung di Astana ku belum di jarah dan dirusak hehe
salam kenal

Posting Komentar

Pengunjung yang baik tentunya memberikan Komentar,kritik serta saran yang sopan disini, Terima kasih atas komentar dan kunjungan nya

Kembali lagi ke atas