Bersumber pada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4 (naskah wangsakerta), yang selesai ditulis tahun 1602 Saka (1680 Masehi) di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan
Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.
Penerus tahta Kerajaan Kendan
Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman. Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman dikenal tampan dan mahir ilmu perang. Sehingga, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.
Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah resiguru wafat, Sang Baladika Suraliman menjadi raja menggantikan ayahnya di Kendan. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang. Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati.
Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya. Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.
Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang, Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa silam Kendan.
Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Pendahulu Kerajaan Galuh
Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator. Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).
Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara. Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).
Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.
Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor) sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.
Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.
Disadur dari tulisan PROF. DRS. YOSEPH ISKANDAR
Firman Raharja 110908
di 5:36 PM Label: Galuh, Kendan, Manikmaya, Suraliman, Wretikandayun
Link ke posting ini
0 komentar
05 December 2007
CARITA TANAH PASUNDAN
CARITA TANAH PASUNDAN
Periode Awal sampai Taruma Nagara
Konon menurut wangsakerta, kerajaan pertama di tanah jawa adalah Salaka Nagara atau Rajatapura (Negeri Perak) dengan pendiri Aki Tirem (=Argyre : Ptolemy). Letaknya di teluk lada Pandeglang sekarang sekitar tahun 150 M. Pemerintahan Salaka Nagara dipimpin oleh raja-raja dengan gelar Dewawarman. Tercatat bahwa gelar Dewawarman diturunkan selama 8 generasi (Dewawarman I - VIII). Diperkirakan kejayaannya hanya sampai tahun 362 M. Selanjutnya penguasaan wilayah Jawa (bag Barat) dilanjutkan oleh Taruma Nagara dan Salaka Nagara pun menjadi kerajaan kecil.
Kerajaan Taruma Nagara tercatat dimulai sejak tahun 358 M dengan raja pertama bernama Jayasingawarman. Jayasingawarman berasal dari negeri Salankayana di India. Dia dianggap pendiri kerajaan yang juga merupakan menantu Dewawarman VIII. Pada pemerintahan raja ke-3, cucu Jayasingawarman yaitu Purnawarman (395 – 434), ibukota kerajaan dipindah ke kota baru dengan nama Sundapura (Kota Suci) disekitar muara Ciaruteun.
Pada masa Suryawarman (535 - 561 M) yang merupakan cucu Purnawarman, kekuasaan Taruma dilebarkan ke arah timur. Untuk itu dalam tahun 526 M, Manikmaya, menantu Suryawarman dari Tirta Kancana, diberikan kekuasaan untuk mendirikan kerajaan baru di Kendan, sekarang terletak di daerah Nagreg (terletak antara Bandung dan Garut). Selanjutnya cicit Manikmaya yang bernama Wretikandayun (612) memindahkan ibukota Kendan ke kota baru yang diberi nama Galuh (=Permata). Kota tersebut diapit 2 sungai yaitu Citanduy dan Cimuntur. Kota tersebut sekarang bernama Desa Karang Kamulyan di Ciamis.
Cerita terus berlanjut dan raja-raja terus silih berganti sampai dengan raja terakhir yaitu Linggawarman raja yang ke-12 ditahun 669 M. Dalam masa penguasaan Taruma telah terdapat 48 kerajaan bawahan diantaranya adalah Salaka Nagara, Galuh, Kendan serta Sunda Sambawa. Dikarenakan tidak memiliki anak laki-laki maka kekuasaan Linggawarman turun kepada menantu pertamanya Tarusbawa. Sebenarnya dia mempunyai 2 anak perempuan yang bernama Manasih dan Sobakancana. Manasih menikah dengan Tarusbawa pewaris kerajaan Sunda Sambawa dan Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya.
Tarusbawa merupakan raja yang panjang umur dan berkuasa lama, diperkirakan berkuasa dari 669-723 M. Dia digantikan oleh cucu menantunya yang bernama Rakeyan Jamri atau lebih dikenal dengan Prabu Sanjaya Harisdharma. Adapun sang putera mahkota, anak Tarusbawa meninggal sebelum dinobatkan, menyebabkan Tarusbawa digantikan oleh cucu perempuannya yang bernama Tejakancana yang bersuamikan Sanjaya ini. Sanjaya adalah anak Sanaha adik perempuan dari Bratasena raja Galuh saat itu.
Pada masa pemerintahan Tarusbawa, terjadi perselisihan antara 2 menantu Lingawarman. Akibat perselisihan ini Jayanasa/Sriwijaya menyerang Taruma/Tarusbawa (wangsakerta). Akibat serangan itu Taruma melemah, sehingga Tarusbawa kembali ke kerajaan asalnya Sunda Sambawa dengan membawa kekuasaan Taruma. Selanjutnya Taruma Nagara dia ubah namanya menjadi Kerajaan Sunda.
Penggantian nama Taruma menjadi Sunda dijadikan momen oleh Galuh/Wretikandayun untuk menyatakan lepas dari Sunda/Taruma (670). Dengan alasan merasa sederajat dengan kerajaan Sunda (sama-sama kerajaan bawahan Taruma) atau mungkin merasa berjasa membantu melawan Sriwijaya. Wretikandayun (cicit Manikmaya) mengklaim wilayah kekuasaan Taruma sebelah Timur dari Kali Cipamali sampai kali Citarum. Saat itu Wretikandayun sudah berumur 78 tahun. Sehingga dia sudah mengenal betul kondisi politik Taruma. Klaim Galuh tersebut berlangsung mulus, karena Tarusbawa menghindari terjadinya peperangan. Bahkan saat itu Tarusbawa merupakan sahabat dari Bratasena anak dari Wretikandayun. Sehingga itulah akhir dari cerita Taruma Nagara yang melemah dan menjadi 2 kerajaan dengan sungai citarum sebagai batas.
Masa Keemasan Galuh
Selanjutnya di Galuh, diceritakan bahwa Wretikandayun yang bergelar Maharaja Suradharma Jayaprakosa setidaknya memiliki 3 anak dari Pohaci Bunga Mangle (Manawati/Candrarasmi) yaitu : Sempakwaja (Jatmika), Jantaka dan Mandiminyak (Amara). Diantara anaknya yang menggantikan dirinya adalah anak bungsunya yang bernama Mandiminyak. Dikarenakan anak tertuanya bernama Sempakwaja dan anak keduanya Jantaka dianggap cacat jasmani. Mandiminyak digantikan oleh anaknya dari Rababu (Parwati?) yang bernama Bratasena (Sena). Namun Sena digulingkan oleh sepupunya, anak dari Sempakwaja yang bernama Purbasora. Purbasora saat itu dibantu oleh raja Indraprahasta dari sekitar daerah Cirebon. Hal ini menyebabkan Sena lari ke Kalingga (sebelum Mataram Kuno) negeri nenek istrinya yaitu Maharani Shima.
Sanjaya yang merupakan keponakan Bratasena, melakukan serangan balas dendam ke Purbasora. Serangan ini dia lakukan setelah ia dinobatkan menjadi raja Sunda (723-732 M) Hal ini mengakibatkan keluarga Purbasora dimusnahkan. Sedangkan panglima perangnya yang bernama senopati Bimaraksa (Aki Balangantrang) berhasil melarikan diri ke daerah Geger Sunten. Bimaraksa merupakan anak dari Jantaka (anak kedua Wretikandayun). Dengan Serangan balas dendam ini, Galuh pun dikuasai oleh Sanjaya.
Sanjaya tak lama berkuasa di Galuh, untuk menciptakan ketentraman di Galuh, selanjutnya kekuasaan Galuh ia serahkan kepada Permana Dikusuma. Permana merupakan cucu dari Pubasora. Namun sebelumnya, Permana oleh Sanjaya dijodohkan dengan Dewi Pangrenyep anak dari Anggada (Patih Sunda). Dia juga mengangkat anaknya Tamperan sebagai kepala pasukan Galuh. Untuk Demunawan adik Purbasora (anak Sempakwaja dan Wulansari), dia memberikan kekuasaan atas Kuningan dan Galunggung.
Tahun 732 M, Sanjaya juga mewarisi Mataram/Kalingga dari ayahnya yang mengakibatkan ia melepaskan tahta kekuasaan di Sunda kepada anaknya Tamperan. Untuk itu Tamperan yang dikenal juga sebagai Rakai Panaraban (saat itu panglima di Galuh) dia panggil pulang dari Galuh ke Sunda untuk diserahi tahta Sunda. Sehingga saat itu sebenarnya kekuasaan Sanjaya meliputi Kerajan Sunda, Kerajaan Galuh serta kerajaan (Bhumi) Mataram (Kalingga Utara).
Sebelum dijodohkan dengan Pangrenyep, Permana sudah memiliki anak dari Naganingrum (anak dari Bimaraksa) yang bernama Surotama atau Manarah atau lebih dikenal dengan Ciung Wanara. Sedangkan selanjutnya dari Pangrenyep, ia memiliki anak bernama Kamarasa atau (Hariang/Arya) Banga. Banga sendiri diyakini sebagai anak hasil hubungan gelap antara Tamperan dan Pangrenyep. Sehingga saat Permana Dikusuma wafat (konon dibunuh atas perintah Tamperan) yang diangkat menjadi raja Galuh adalah Banga. Ia diberi gelar Prabu Kretabuwana Yasawiguna Aji Mulya.
Saat diadakan pesta sabung ayam di Galuh yang dihadiri juga oleh Tamperan yang saat itu sudah menjadi raja Sunda, Manarah melakukan kudeta terhadap Banga. Kudeta ini dilakukan dengan sokongan dari Bimaraksa dan bantuan Indraprahasta serta Kuningan. Dalam serangan ini Tamperan dan Pengrenyep tewas. Sehingga Sanjaya/Mataram mengirimkan pasukan untuk membalas dendam sekaligus membantu Banga. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi peperangan yang besar.
Dalam peperangan tersebut, Harya Banga terdesak. Perang besar tersebut akhirnya didamaikan oleh Demunawan yang saat itu sudah menjadi Resi. Dalam perdamaian itu Sunda Galuh kembali menjadi terpisah. Sunda diberikan kepada Banga dan Galuh diberikan kepada Manarah. Selanjutnya untuk memperkuat perdamaian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari adik dari Kencana Wangi.
Sang Manarah setelah menjadi raja mendapat gelar Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana. Manarah memiliki 7 anak, namun kesemuanya perempuan. Tahta akhirnya turun ke anak perempuannya yang ke-7 yang bernama Purbasari yang bersuamikan Guruminda Sang Ministri. Kisah ratu Purbasari lebih dikenal di masyarakat dengan cerita pantun Lutung Kasarung. Namun selain cerita pantun tersebut, tidak ada catatan lain yang lebih lanjut untuk menjelaskan keadaan pemerintahannya pada waktu itu.
Keturunan Manarah putus hanya sampai cicit dari Purbasari yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891). Sedangkan rakeyan Wuwus merupakan cicit dari Harya Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, Galuh dan Sunda kembali bersatu dibawah kekuasaan Rakeyan Wuwus dan selanjutnya disebut jaman Sunda Galuh.
Masa Sunda Galuh sampai Sunda Pajajaran
Sunda Galuh terus bertahan dalam perjalanan waktu, hingga pada suatu masa dalam kepemimpinan Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042) raja Sunda ke-20, terjadi kejadian yang disebut Pralaya. Pralaya adalah penyerangan besar besaran Wurawuri/Sriwijaya terhadap kerajaan Medang. Peristiwa ini menjadi istimewa karena Ia beribu seorang puteri Sriwijaya saudara dari Raja Wurawuri. Adapun istri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan juga merupakan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.
Penerus Sri Jayabupati yang ke-5 adalah Prabu Dharmasiksa. Seyogyanya dia akan digantikan oleh Rakeyan Jayadarma. Beliau adalah suami Singamurti (Dyah Lembu Tal). Singamurti merupakan anak Mahisa Campaka yang berarti cicit dari Ken Arok. Mereka memiliki anak yang bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya). Namun sang putera mahkota Jaya Dharma meninggal sebelum dinobatkan. Akibat meninggalnya Jaya Dharma, Singamurti kembali ke negerinya bersama Raden Wijaya. Di negerinya setelah dewasa, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.
Kedudukan putera mahkota Jayadarma akhirnya digantikan oleh adiknya yang bernama Ragasuci (1297-1303). Ragasuci merupakan suami dari Dara Puspa puteri Kerajaan Melayu (Jambi) adik dari Dara Kencana istri Kertanegara, penguasa Singasari. Dan akhirnya Ragasuci dinobatkan menjadi raja kerajaan Sunda.
Selanjutnya keturunan ke-5 Ragasuci adalah Prabu Linggabuana (1350-1357). Prabu Linggabuana adalah raja Sunda yang tewas dalam perang Bubat. Sebagai penghargaan atas keberaniannya melawan Majapahit saat itu, Linggabuana diberi gelar Prabu Wangi. Kedudukan Linggabuana digantikan sementara oleh adiknya Bunisora selaku Pemangku Jabatan. Hal ini dikarenakan anak Linggabuana (Niskalawastukancana) waktu itu belum dewasa. Setelah dewasa maka Niskalawastu dinobatkan menjadi raja Sunda. Diperkirakan sejak saat Prabu Niskalawastu gelar Siliwangi muncul. Silih wangi berarti pengganti Prabu Wangi selanjutnya raja-raja penggantinya juga disebut sebagai Siliwangi.
Niskalawastu mempunyai anak dari Lara Sakarti yang bernama Susuktunggal dan dari Mayangsari bernama Dewaniskala. Kedua anaknya masing-masing diwarisi bagian kerajaan. Akibat pembagian waris tersebut Sunda kembali menjadi dua kerajaan. Bekas kerajaan Sunda di berikan kepada Susuktunggal, sedangkan bekas kerajaan Galuh diberikan kepada Dewa Niskala.
Dewa Niskala memiliki anak yang bernama Jaya Dewata (=Sri Baduga Maharaja). Jaya Dewata dinikahkan dengan Kentring Manik Mayang Sunda anak dari Susuktunggal. Saat Jayadewata mewarisi Galuh (1482-1521), Susuktunggal pun memberikan tahtanya kepada menantunya tersebut sehingga Sunda Galuh kembali menyatu. Beliau memindahkan ibukota dari kawali (Galuh) ke Pakuan. Dimasa Jaya Dewata inilah Sunda lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Sebutan Pajajaran sendiri merupakan kependekan dari Pakuan Pajajaran. Pakuan Pajajaran kurang lebih berarti Istana(=Pakwwan) yang berjajar. Ini gambaran dari keadaan ibukota yang terdiri dari banyak istana yang rapi berjajar. Sehingga kerajaan tersebut dinamai Pakuan Pajajaran dengan lebih singkatnya Pajajaran.
Selain dengan Kentring Manik Mayang Sunda, Jaya Dewata pun menikah dengan Ambetkasih puteri Ki Gedeng Sindang Kasih juga dengan Subanglarang puteri Ki Gendeng Tapa raja Singapura (daerah sekitar Cirebon). Subanglarang adalah murid dari Pondok Pesantren Quro pimpinan Syekh Hasanuddin di Karawang. Dari Subanglarang ini Jaya Dewata memiliki anak yang bernama Kian/Rakean Santang/Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana dan Rara Santang. Rara Santang kemudian memiliki anak yang bernama Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.
Penerus tahta Jaya Dewata adalah Surawisesa anak dari Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Kian Santang diberikan kekuasaan untuk mengkontrol pelabuhan Cerbon menggantikan kakeknya Ki Gendeng Tapa. Selanjutnya Cerbon berkembang dari asalnya kerajaan bawahan menjadi sebuah kesultanan setelah mendapat dukungan Demak. Kekuasaan Kian Santang turun kepada menantu sekaligus keponakannya anak dari Rara Santang yang bernama Syarif Hidayatullah. Dalam masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah, Cirebon menyatakan melepaskan diri dari Pajajaran. Pernyataan ini ditandai dengan tidak lagi melakukan pengiriman upeti ke Pajajaran.
Pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535) dia membangun kerjasama dengan Portugis. Kerjasama ini dibangun oleh Surawisesa yang saat itu sudah merasa terancam oleh kesultanan Cerbon yang didukung oleh Demak. (Tome Pires). Portugis diberi keleluasaan oleh Sunda untuk beroperasi di Sunda Kelapa. Kekhawatiran Surawisesa terbukti, 1524 Cirebon dibantu Demak merebut Banten. Selanjutnya anak Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Maulana Hasanuddin sendiri merupaan anak sunan dari istrinya yang bernama Nyai Kawunganten. Ia adalah anak dari Surasowan yang merupakan adik kandung dari Surawisesa.
Tahun 1527 Sunda Kalapa diserang Cirebon dengan tujuan untuk membalas serangan portugis atas Malaka (1511). Serangan dipimpin oleh Fatahillah/Tubagus Pasai yang merupakan veteran perang Malaka yang juga menantu Sunan Gunung Jati, dibantu Banten dan Demak. Serangan menyebabkan Sunda Kelapa jatuh ke Cirebon dan kemudian namanya di ubah menjadi Jayakarta. Sejak masa tersebut perselisihan antara Sunda dan para sultan (Cerbon+Banten) pun semakin membesar.
Akhirnya pada 11 Wesaka 1501 tahun Saka (8 Mei 1579) Kerajaan Sunda Pajajaran akhirnya benar-benar runtuh. Kejadian ini pada masa Raja Sunda keturunan Jaya Dewata yang ke-5 yaitu Prabu Surya Kancana/Ragamulya/Nusyamulya (1567-1579). Sunda runtuh setelah beberapa kali diserang Kesultanan Banten dan Cirebon. Keruntuhan ditandai dengan dibawanya Watu Gigilang/Palangka Sriman Sriwacana batu tempat penobatan raja Sunda ke istana Surosowan Banten. Sejak itu tidak ditemukan lagi catatan mengenai keberadaan sang Prabu Surya Kancana. Di masyarakat Sunda peristiwa ini dikenal dengan peristiwa ”Ngahyang”. Sehingga sampai saat ini masih dipercayai sebagian besar masyarakat Sunda bahwa Prabu Siliwangi (yang terakhir) Ngahyang.
Pada masa Kerajaan Pajajaran sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf anak Maulana Hasanuddin. Prabu Surya Kancana sebelum meninggalkan Pakuan, mengutus empat prajurit pilihan (Kandaga Lante) untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Dengan diberikannya pusaka tersebut kepada Prabu Geusan Ulun (1580-1608), maka dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran telah menyerahkan kekuasaan kepada Kerajaan Sumedang Larang.
Sementara itu, kesultanan Banten dikarenakan telah memiliki batu Gigilang serta merupakan keturunan langsung Jaya Dewata dari kakeknya (=Sunan Gunung Jati), Maulana Yusuf mengklaim sebagai pewaris sah atas tahta Pajajaran. Sehingga Banten pun bersitegang dengan Sumedang. Namun secara de facto, wilayah sisa kerajaan Sunda waktu itu tidak pernah berada dalam administrasi kekuasaan kesultanan Banten.
Pada masa Surya Kancana sudah keluar dari Pakuan (Ngahyang), Istana Pakuan jatuh ke tangan pasukan koalisi Islam (Demak, Banten + Cirebon). Dalam perjanjian terakhir, Sunan Gunung Jati selaku tetua (keturunan dekat Siliwangi) meminta bagi para penghuni kota pakuan yang tidak mau beragama Islam untuk keluar. Hasil perjanjian ini mengakibatkan 40 orang anggota pasukan elit kerajaan sunda keluar dan akhirnya bermukim di Cibeo dan konon menjadi Masyarakat Kanekes (=”Urang Baduy”).
Masa Sumedang Larang sampai Jatuh ke Tangan Belanda
Pada saat pemerintahan Sumedang berada di tangan Prabu Geusan Ulun/Angkawijaya, Mataram (=Sultan Agung) sedang dalam masa kejayaannya. Sehingga demi kepentingan politik (terutama untuk menghadapi Banten) Sumedang menyatakan bergabung dengan Mataram. Pada masanya pula terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan dengan Cirebon. Peperangan ini berhasil didamaikan oleh Mataram. Hasil perdamaian menyebabkan Sumedang kehilangan wilayah Majalengka. Namun Geusan Ulun mendapatkan Ratu Harisbaya (puteri kerabat Mataram) yang menandakan kedekatan dengan Mataram serta kemerdekaan dari Cerbon (akibat kejatuhan Pajajaran).
Penerus Geusan Ulun adalah anak tirinya dari Ratu Harisbaya yaitu Rangga Gempol Kusumah Dinata atau Raden Aria Suradiwangsa (1620-1624). Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, Mataram semakin kuat. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang tunduk kepada Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kadipaten'.
Suatu saat Rangga Gempol diperintahkan oleh Sultan Agung untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Namun sejak saat itu Rangga Gempol tidak pernah kembali ke Sumedang, konon ia selanjutnya diangkat menjadi orang dalam istana Mataram. Pemerintahan Sumedang kemudian diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede. Dalam masa pemerintahannya Sumedang Larang diserang pasukan Kesultanan Banten. Karena Rangga Gede/Rangga Gempol II tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menangkap dan menghukum penjara Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.
Sebagai tanda bakti, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta). Serangan tersebut mengalami kegagalan (1628) dan Bahureksa pun tewas. Karena menolak untuk dihukum akibat kekalahan ini, Dipati Ukur memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Namun pemberontakan ini dapat dipatahkan dan menyebabkan Dipati Ukur akhirnya dihukum oleh Sultan Agung (1632).
Dengan dihukumnya Dipati Ukur, Pemerintahan dikembalikan kepada Rangga Gede. Saat itu wilayah Sunda telah kehilangan kekuasaan atas Cerbon dan Majalengka (Sultan Cerbon), Banten (Sultan Banten), Jakarta (VOC) dan Galuh (Mataram). Sehingga sisa wilayah Sunda yang masih dipimpin oleh pewaris tahta yang ”sah” tinggal empat kadipaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakan Muncang dan Tatar Ukur (Bandung). Keempat kadipaten ini lebih dikenal dengan nama Priangan. Namun demikian sisa wilayah ini pun sebenarnya tunduk kepada Mataram. Adapun kadipaten lain yang langsung dibawah kontrol Mataram (Amangkurat I) adalah Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), SekacĂ© (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer).
Pada saat kekuasaan Mataram mulai menurun, wilayah Priangan sisa kerajaan Sunda yang terakhir diserahkan oleh Mataram kepada Belanda (1677). Dan tahun 1705 Belanda juga berhasil menguasai Cerbon dan Priangan Timur (Galuh) melalui perjanjian dengan Mataram. Sehingga wilayah Sunda kecuali Banten telah berada dalam kontrol Belanda. Disusul tahun 1808 Istana Surosowan Banten jatuh ke tangan Raffless/Belanda (saat itu dibawah Inggris). Tahun 1813 Banten sepenuhnya dikuasai Belanda. Sehingga sejak saat itu, secara otomatis wilayah kerajaan Sunda telah sepenuhnya dikuasai Belanda.
(Disarikan oleh : Firman Raharja - 171207)
Keterangan:
1. Dari berbagai sumber yang konon berasal dari Naskah Wangsakerta, Carita Parahyangan, prasasti-prasasti, Bujangga Manik, Babad Pajajaran, Carita Warunggu Guru, Naskah Sukapura, Caruban dsb. dengan acuan utama tulisan ini adalah situs Wikipedia.
2. Tulisan ini merupakan analisa bebas dari penulis dari beberapa interpretasi sejarah dari berbagai sumber. Tidak berdasarkan atas ilmu sejarah yang valid. Hanya ditujukan untuk kepuasan penulis sendiri.
3. Jika ada yang penasaran dengan cerita lebih valid maka disarankan untuk membaca sumber langsung seperti yang tercantum dalam poin 1.
Tempat Berbagi wawasan Sejarah ,Seni,Budaya Sunda dan Sejarah,Seni Budaya Nusantara
About Me
Link Teks
Copy/paste code dibawah ini ke blog anda.
Banner Sobat
Links Sobat
Mau SmS Gratis !!!
Blogroll
http://babadsunda.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.
Browse » Home »
Babad Sunda
» Kisah Kerajaan Kendan
Kisah Kerajaan Kendan
Jika menurut Anda artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Cari isi Blog disini
Selamat Datang
Selamat Datang
di blog Sejarah Seni dan budaya,
Saya berharap kritik dan saran anda
pada kolom komentar, dan Setiap Pengunjung yang Followers this Site/Join this Site ke blog ini maka saya akan followers this Site /Join this Site kembali pada blog anda, dijamin 100% follow back U Blogs.....
dan bagi yang ingin tukar Links/Banner tinggalkan pesan anda. Selamat berjalan-jalan di blog Carita Ki Sunda
Temukan saya di FACEBOOK
(jakatatal@yahoo.com)
TERIMA KASIH
ATAS KUNJUNGAN ANDA
Labels
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Katagori
-
▼
2010
(140)
-
▼
Juli
(33)
- Teks Naskah Kisah Kenaikan SRI AJNYANA bagian 2
- Teks Naskah Kisah Kenaikan SRI AJNYANA bagian 1
- Carita Ki Sunda: Kisah Kerajaan Kendan
- KIDUNG KURUKSETRA (Perangan 01)
- Kisah Kerajaan Kendan
- Dawuhan Kanjeng Pangeran Aria Soeria Atmadja ( P. ...
- Kisah Kerajaan Kendan
- Dawuhan Kanjeng Pangeran Aria Soeria Atmadja ( P. ...
- KIDUNG KURUKSETRA (Perangan 01)
- Uga Wangsit Siliwangi (sunda)
- Kitab Musarar Jayabaya (jawa)
- Jejak Kerajaan Sunda-Galuh
- Filosofi Kota Bandung
- Sarsilah Karajaan Sumedang Larang
- Prinsip Universal Kasundaan
- catatan sejarah SUNDA-GALUH
- Penget Srat Piagem. Bandung
- Pusaka Ki Sakawayana (Ajisaka)
- Perjalanan Panjang Kerajaan Sunda - Galuh
- raja-raja Sunda-Galuh
- The Life-Story of an old-time Priangan Regent
- Kawih Panyaraman Sewakadarma
- Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang ...
- Sanghyang Siksa Kandang Karesian
- Carita Parahyangan
- Ramalan Jayabaya (Jayabaya Prophecies)
- SERAT WEDHATAMA
- Wawacan Sang Maha Pandita Bujangga Manik
- Naskah Purusangkara (Uraian)
- Naskah Carita Ratu Pakuan (Kropak 410)
- Wakca Nyarita ka Sumedanglarang
- Tentang Saya
- RAJA-RAJA SUNDA (PAJAJARAN)
-
▼
Juli
(33)
Posting Anyar
Buku Tamu
Followers
SahabatKu
Sahabat FB
Dicari Sponsor
Dicari ....Sponsor !!! Untuk Cetak BukuSejarah Kerajaan Sumedanglarang Nyukcruk Galur SumedangLarang Informasi lebih lanjut
0 komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik tentunya memberikan Komentar,kritik serta saran yang sopan disini, Terima kasih atas komentar dan kunjungan nya