A. Landasan Filosofis
Pancasila adalah sebuah kesatuan yang bulat dan utuh. Pancasila memberi sebuah keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagian hidup hanya akan tercapai jika hidup itu sendiri didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam kehidupan manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan masyarakat dan hubu...ngan dengan alam serta hubungan dengan Tuhannya.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan sila ini manusia Indonesia menumbuhkan di dalam dirinya ketaatan kepada agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap TYME dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap TYME sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk-pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga dapat selalu dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dengan sila ini manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya, dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa atau tepa selira, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan bekerja dengan bangsa-bangsa lain.
Sila Persatuan Indonesia. Dengan sila ini, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan Bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Menempatkan kepentingan Negara dan Bangsa di atas kepentingan pribadi, berarti bahwa manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan Negara dan Bangsa apabila diperlukan. Oleh karena itu sikap rela berkorban untuk kepentingan Negara dan Bangsa itu dilandasi oleh rasa cinta tanah air dan bangsanya, maka dikembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia, dalam rangka memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa.
Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dengan sila ini manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, maka pada dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan masyarakat, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimanya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab. Di sini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada TYME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakil-wakil yang dipercayainya.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan sila ini manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk itu dikembangkan sikap adil dan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban terhadap sesama serta menghormati hak-hak orang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Pancasila sesungguhnya adalah kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu Pancasila pada dasarnya adalah ‘kepribadian nasional’. Pancasila menjadikan bangsa Indonesia hidup dalam arti aktif, dinamis, kreatif. Karena itu Pancasila disebut sebagai landasan idiil bangsa Indonesia ke masa depan sesuai tuntutan zaman. Pancasila merupakan kenyataan hidup bangsa Indonesia tidak dapat disangkal, karena Pancasila adalah obyektifitas dari kehidupan bangsa Indonesia.
Sebagai suatu landasan idiil bagi kehidupan bangsa, karena itu Pancasila pada dasarnya adalah pusat nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus ditaati. Pancasila juga menjadi ukuran baik buruk, indah-tidak indah, benar salah terhadap kegiatan kenegaraan. Dalam pemahaman yang demikian maka Pancasila sesungguhnya menjadi landasan bagi pembangunan nasional yang secara utuh ke arah pembangunan sumber daya manusia yang tidak hanya ditujukan ke arah pembangunan material/materi atau lahiriah semata seperti peningkatan produksi pangan, perumahan, kesehatan, atau berbagai infra struktur yang berhubungan langsung dengan kemudahan hidup manusia sehari-hari. Demikian juga tidak semata-mata ditujukan pada pembangunan batiniah yang mengutamakan pentingnya pendidikan, rasa aman, kebebasan berpendapat, keadilan dan sebagainya, melainkan dituntut adanya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.
Karena itu pembangunan di sektor kebudayaan di Indonesia, diselenggarakan bukan hanya untuk kepentingan satu golongan, satu etnik, kelompok tertentu, melainkan untuk seluruh rakyat/masyarakat Indonesia. Pancasila memberi jaminan pasti bagi seluruh warga masyarakat Indonesia untuk memperoleh penghargaan yang sama dalam mengekspresikan rasa seni dan format budayanya masing-masing.
Ketika proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan dan ditulis dalam teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di sana termuat pengakuan bahwa kemerdekaan dari bangsa majemuk menjadi negara Republik Indonesia yang merdeka merupakan rahmat berkah dari Sang Pencipta kehidupan, Tuhan Yang Maha Esa.
Pertama, dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu ditulis prinsip-prinsip dasar acuan proses kebudayaan dalam percaturan internasional dalam kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain dalam visi proses peradaban yang ditaruh dalam prinsip berkeTuhanan Yang Maha Esa di mana pertama-tama kebudayaan yang majemuk dan budaya-budaya setempat serta pluralitas ke Indonesiaan mendasarkan peradabannya dari religiositas.
Kedua, strategi kebudayaan dan proses pengembangan kebudayaan mendasarkan fokus arahnya pada kemartabatan kemanusiaan yang dalam relasi menghayati perbedaan tetap harus adil dan menghayati kebersamaan berdasar hormat kemanusiaan itu secara beradab.
Di sini sila kemanusiaan menjadi payung bagaimana tanggungjawab perkembangan kebudayaan tidak bisa anti kemanusiaan atau dehumanis melainkan proses peradaban humanis bermartabat.
Keaneka-ragaman kekayaan budaya-budaya setempat, agama-agama baik samawi maupun religi bumi saling diharapkan membuahi dan memberikan sumbangan nilai benar, baik dan indahnya dalam rajutan persatuan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu Persatuan Indonesia.
Pada saat keberadaan Indonesia di jalur strategis lalu lintas arus-arus deras kebudayaan dengan faktor-faktor positifnya seperti kemajuan-kemajuan; rasionalitas; disiplin profesionalitas; atau pun sisi-sisi negatifnya yaitu pengasingan jatidiri karena globalisasi yang melulu ekonomis dan hitungan harga manusia hanya diukur dari fungsi, sebagai alat apalagi dari ukuran kegunaan dan uang; maka di sana tantangan untuk mencapai tata hidup bersama yang lebih merata dalam ketimpangan yang kaya semakin kaya dan yang berpunya kuasa ekonomi, politik dunia semakin meminggirkan yang tidak berdaya disitulah prinsip keadilan dalam ekonomi; kebudayaan dalam hak-haknya dan kewajiban menjadi penentu sosialitas yang dibangun. Inilah prinsip keadilan sosial baik untuk relasi antar keberagaman dalam negara maupun relasi antar negara dalam mencipta perdamaian dunia yang manusiawi karena saling menghormati daulat harkat kemanusiaannya.
Proses dialog-dialog budaya dalam musyawarah dan ditaruhnya daulat rakyat sebagai pelaku kebudayaan menjadi cara berkomunikasi; cara menghidupi dan cara memajukan kebudayaan menjadi berharkat sebagai bangsa yang majemuk.
Dengan kata lain: prinsip-prinsip dasar atau sila-sila Pancasila merupakan acuan, dasar dan sumber mata air pengembangan proses-proses kebudayaan bangsa Indonesia untuk dicarikan bahasa-bahasa hukumnya untuk ranah “tangible” kebudayaan dan bahasa dialog-dialog peradabannya untuk ranah-ranah yang tidak bisa dibahasakan hukum karena merupakan wilayah “ruh” atau “intangible” dari kebudayaan.
B. Landasan Yuridis
Berdasarkan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar ‘45 dalam pembukaan mengamanatkan bahwa pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan dalam rangka untuk memajukan kebudayaan, ditujukan bagi tercapainya kemajuan adab dan persatuan bangsa, yang terbentuk dalam suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Amanat Undang-undang Dasar 1945 tersebut Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia, dan usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Beranjak dari amanat tersebut, pemerintah berkewajiban untuk melakukan berbagai upaya dalam memajukan kebudayaan. Sebagaimana diamanatkan di dalam UUD ’45, bahwa pemerintah bersama masyarakat sekaligus memiliki tanggung jawab untuk merawat dan menjaga, namun juga menjadi tanggung jawab dalam berperan aktif untuk pengembangan secara dinamis dengan memperhatikan kewajiban dari masyarakat
Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen (4) sebagai landasan filosofis dan yuridis tertinggi mengamanatkan:
1. Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
2. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Penjelasan menyatakan ”Usaha kebudayaan harus maju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari budaya asing yang dapat memberi perkembangan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”. ”Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya seluruh rakyat Indonesia. Kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa.
Dalam memajukan kebudayaan Nasional disadari bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan beraneka ragam budaya yang akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat yang terus berubah. Penghargaan terhadap keragaman budaya menjadi harmoni melalui pemahaman terhadap suku atau etnik yang lain.
Pengakuan dan pemahaman yang bersandar akan keberagaman multietnik dan budaya akan melahirkan sikap toleransi, harmoni, dan demokratis yang menjadi ciri yang makin kukuh sebagai jati diri bangsa.
Kesadaran akan jatidiri suatu bangsa dipengaruhi oleh pemahaman kebudayaan yang berlanjut yang diperoleh dari proses belajar, penyesuaian diri dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga keberadaan bangsa itu dalam masa kini dan dalam proyeksi ke masa depan tetap bertahan pada ciri khasnya sebagai bangsa dan tetap berpijak pada landasan falsafah dan budaya sendiri.
Kebudayaan dalam bentuk keragaman ras, suku bangsa merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang perlu ditumbuhkembangkan untuk memperkukuh jatidiri, kebanggaan nasional memiliki arti penting bagi kesadaran keberagaman suku bangsa dan multi etnik yang berkembang saat dapat bertahan dan sekaligus dapat menjadi dasar dan mewarnai kehidupan yang maju seiring dengan perkembangan peradaban saat ini.
Kebudayaan Indonesia diharapkan dapat bertahan dan semakin kuat, dan dapat turut berperan di tengah peradaban dunia, ketetapan untuk memajukan kebudayaan menjamin kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan mengembangkan kreatifitas yang sekaligus juga memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
Pengusulan Undang-undang Kebudayaan merupakan hasil dari proses harmonisasi dan pendalaman dari sejumlah undang-undang organik yang secara langsung ataupun tidak langsung terkait dengan upaya memelihara dan memajukan kebudayaan.
Undang-undang dan konvensi internasional yang berkaitan dengan kebudayaan adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dari kerusakan dampak berbagai kegiatan pembangunan. Dalam RUU Kebudayaan perlu diatur tentang pengelolaan warisan budaya yang pemanfaatannya harus berwawasan pada pelestarian, sejalan dengan pengembangan yang berkelanjutan ”sustainable development”
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata; Dalam Undang undang tersebut diatur hal yang berkaitan dengan daya tarik wisata yang termasuk didalamnya keragaman obyek wisata yang dapat berupa lingkungan dan peristiwa alam dan budaya, benda peninggalan sejarah dan purbakala, ilmu pengetahuan dan teknologi, ritual keagamaan serta pertunjukan yang menjadi sasaran atau kunjungan wisata. Dalam RUU Kebudayaan diperlukan pengaturan yang memberi peluang untuk kontak antarbudaya, dengan memperhatikan perlindungan dan dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatannya.
3. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 UU tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan ”pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang ermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. Dengan kata lain, pendidikan dan kebudayaan berkaitan erat satu sama lain karena akhirnya pendidikan merupakan proses pembudayaan.
Seiring dengan Undang–undang pendidikan tersebut maka ”Rancangan Undang-undang Kebudayaan” fungsi kebudayaan akan memberikan nilai penting untuk pemahaman individu melalui jatidiri dalam konteks budaya dan/lintas budaya, dengan demikian penghargaan terhadap budaya etnik, akan menjamin kehidupan berbangsa, juga mengarahkan pada proses-proses pembudayaan yang berlandaskan pada keragaman budaya.
1. Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang mengatur penyelenggaraan, alat, perangkat, jaringan, jasa, pemanfaatan dan pengelolaan telekomunikasi. Dalam RUU Kebudayaan, akan melengkapi undang-undang ini untuk mencegah ekses dan dampak negatif dari kemajuan teknologi komunikasi diatur yang dapat menimbulkan ekses terhadap eksistensi kebudayaan Indonesia, karena dapat dengan mudah terakses langsung dalam ruang pribadi.
2. Undang-Undang nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pada intinya mengatur tentang perlindungan tentang benda cagar budaya sebagai kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Lingkup pengaturan tersebut jelas menyebutkan benda ”tangible” alam dan buatan manusia, situs, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata, dengan demikian jelas bahwa pengaturan Undang-undang Cagar budaya ini hanya sebagian dari lingkup kebudayaan yang lebih menekankan pada benda ”tangible”
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam RUU Kebudayaan yang diatur berkenaan dengan hak cipta berkaitan dengan hak bagi setiap orang maupun kelompok untuk berekspresi dan berkreasi dalam melahirkan karya baru sebagai hasil inovasi dan adaptasi budaya.
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya agar pemanfaatnya tetap memperhatikan pemeliharaan dan menjamin kesinambungan persediannya dan dengan tetap terjaga keanekaragaman serta kualitasnya. RUU Kebudayaan menetapkan perlunya dilakukan Amdal budaya sebelum dilakukan pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
RUU Kebudayaan melindungi kearifan budaya lokal dan perlunya dilakukan Amdal budaya sebelum pengelolaan hutan (zonasi/pemintakatan lahan dalam zona inti, zona penyangga, zona pengembangan).
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan tanah.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Penelitian dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam RUU Kebudayaan diatur mengenai penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan untuk kepentingan akademik, ideologik, dan pengembangan yang berkaitan dengan ekonomi kreatif.
3. Undang-Undang Nomor... Tahun 1954 tentang: Ratifikasi Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict. Konvensi tersebut telah diratifikasi dengan Undang-undang No… tahun 1961, diatur mengenai perlindungan warisan budaya baik yang bersifat lokal, maupun warisan budaya dunia selama terjadi konflik bersenjata secara nasional atau internasional dengan pemberian tanda khusus dalam bentuk emblem pada situs, atau kawasan yang dilindungi oleh konvensi ini, serta jika dimungkinkan juga mengatur mengenai pembentukan unit khusus pasukan militer yang bertanggung jawab untuk melindungi pada saat konflik bersenjata.
4. Konvensi tentang Perlindungan Warisan budaya dan Alam Dunia, Unesco Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage, 1972. Dalam RUU Kebudayaan akan diatur mengenai perlindungan, konservasi, dan preservasi warisan budaya dan alam ke dalam program perencanaan yang komprehensif yang juga mencakup tentang pengembangan sumber daya manusia di bidang perlindungan, konservasi, dan preservasi cagar budaya.
5. Konvensi perlindungan tentang ”budaya yang Tak Benda” yaitu: Convention for The Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage, tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 62 tahun 2007, yang secara garis besar memberikan kesepakatan untuk melindungi, meneruskan dan mempromosikan budaya dengan tetap menghargai keragaman budaya dan kreatifitas manusia, yang didasarkan atas komunitas, group atau individu serta penghargaan kepada ketentuan hak azasi manusia sebagai suatu instrument, namun juga menghargai komunitas maupun sebagai individu, dan pengembangan secara berkelanjutan ”sustainable development”.
* The General Conference of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, meeting in Paris from 3 to 21 October 2005 at its 33rd session, tentang keragaman Convention on The Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expression.
o Affirming that cultural diversity is a defining characteristic of humanity,
o Conscious that cultural diversity forms a common heritage of humanity and should be cherished and preserved for the benefit of all,
o Being aware that cultural diversity creates a rich and varied world, which increases the range of choices and nurtures human capacities and values, and therefore is a mainspring for sustainable development for communities, peoples and nations,
o Recalling that cultural diversity, flourishing within a framework of democracy, tolerance, social justice and mutual respect between peoples and cultures, is indispensable for peace and security at the local, national and international levels,
o Celebrating the importance of cultural diversity for the full realization of human rights and fundamental freedoms proclaimed in the Universal Declaration of Human Rights and other universally recognized instruments,
o Emphasizing the need to incorporate culture as a strategic element in national and international development policies, as well as in international development cooperation, taking into account also the United Nations Millennium Declaration (2000) with its special emphasis on poverty eradication,
o Taking into account that culture takes diverse forms across time and space and that this diversity is embodied in the uniqueness and plurality of the identities and cultural expressions of the peoples and societies making up humanity,
o Recognizing the importance of traditional knowledge as a source of intangible and material wealth, and in particular the knowledge systems of indigenous peoples, and its positive contribution to sustainable development, as well as the need for its adequate protection and promotion,
o Recognizing the need to take measures to protect the diversity of cultural expressions, including their contents, especially in situations where cultural expressions may be threatened by the possibility of extinction or serious impairment,
o Emphasizing the importance of culture for social cohesion in general, and in particular its potential for the enhancement of the status and role of women in society,
o Being aware that cultural diversity is strengthened by the free flow of ideas, and that it is nurtured by constant exchanges and interaction between cultures,
o Reaffirming that freedom of thought, expression and information, as well as diversity of the media, enable cultural expressions to flourish within societies,
o Recognizing that the diversity of cultural expressions, including traditional cultural expressions, is an important factor that allows individuals and peoples to express and to share with others their ideas and values,
o Recalling that linguistic diversity is a fundamental element of cultural diversity, and reaffirming the fundamental role that education plays in the protection and promotion of cultural expressions,
o Taking into account the importance of the vitality of cultures, including for persons belonging to minorities and indigenous peoples, as manifested in their freedom to create, disseminate and distribute their traditional cultural expressions and to have access thereto, so as to benefit them for their own development,
o Emphasizing the vital role of cultural interaction and creativity, which nurture and renew cultural expressions and enhance the role played by those involved in the development of culture for the progress of society at large,
o Recognizing the importance of intellectual property rights in sustaining those involved in cultural creativity,
o Being convinced that cultural activities, goods and services have both an economic and a cultural nature, because they convey identities, values and meanings, and must therefore not be treated as solely having commercial value,
o Noting that while the processes of globalization, which have been facilitated by the rapid development of information and communication technologies, afford unprecedented conditions for enhanced interaction between cultures, they also represent a challenge for cultural diversity, namely in view of risks of imbalances between rich and poor countries,
o Being aware of UNESCO’s specific mandate to ensure respect for the diversity of cultures and to recommend such international agreements as may be necessary to promote the free flow of ideas by word and image,
o Referring to the provisions of the international instruments adopted by UNESCO relating to cultural diversity and the exercise of cultural rights, and in particular the Universal Declaration on Cultural Diversity of 2001,
* Deklarasi Rio 1992
Prinsip 7 Deklarasi Rio menegaskan bahwa negara-negara maju secara historis, bertanggung jawab atas menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup secara global akibat aktivitas pembangunan yang mereka lakukan; bahwa dengannya, pada sisi yang lain, mereka mempunyai sumber daya yang lebih baik dan lebih banyak, terutama sumber daya keuangan dan teknologi. Kedua hal itu menjadi dasar bahwa negara maju mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam memecahkan persoalan–persoalan lingkungan hidup global serta menjadi negara pertama dalam melakukan usaha-usaha demi tercapainya cita-cita internasional dalam hal Pembangunan Nasional.
* GATS (General Agreement On trade Service) 2005
Konsep Knowlegde Economy kemudian ditindak lanjuti dengan pertemuan WTO (World Trade Organisation) yang menghasilkan kesepakatan bersama antar negara-negara yang tergabung dalam WTO. Kesepakatan itu dirangkum dalam GATS (General Agreement On trade Service) yang menghasilkan keputusan cukup controversial bagi negara-negara dunia ketiga yaitu komersialisasi pendidikan atau pendidikan dimasukkan dalam bidang jasa yang layak untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan. Dan parahnya lagi, Indonesia meratifikasi kesepakatan tersebut. Follow up atau tindak lanjut dari ratifikasi kesepakatan tersebut adalah membuat Rancangan Undang Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan. Tema sentral RUU BHP tersebut adalah komersialisasi pendidikan di Indonesia
(baca : lepasnya tanggung jawab Negara dalam membiayai pendidikan).
Di tengah kontroversi seputar RUU BHP, pasti kita bertanya, “ada apa di balik RUU BHP?”. Sebenarnya, RUU BHP merupakan tindak lanjut (follow up) dari UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Tujuannya, agar lembaga/institusi pendidikan berstatus badan hukum, dengan alasan otonomi, akuntabilitas dan efisiensi. Benarkah demikian? atau justru sebaliknya? Parahnya, RUU ini merupakan hasil ratifikasi pemerintah terhadap General Agreement On trade Service (GATS) WTO tentang jasa pendidikan. Padahal WTO merupakan salah satu organisasi dari negara-negara imperialis dan koorporasi-koorporasinya yang telah menyeret jutaan rakyat di belahan dunia dalam kemiskinan dan keterbelakangan
* Deklarasi Bali
Dialog Antaragama ASEM Sepakati Deklarasi Bali
Isinya, rekomendasi langkah-langkah penting untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam hubungan antaragama di masing-masing negara.
Deklarasi didasari oleh kesepakatan untuk menjaga perdamaian, kasih sayang dan toleransi diantara umat manusia. Kedua, promosi dan perlindungan HAM dan salah-satunya hak untuk memilih agama. Ketiga, Kesedian untuk tidak menggunakan kekerasan dan menentang penggunaan agama untuk merasionalisasikan kekerasan. Keempat, membangun harmoni diantara komunitas internasional.
Adapun langkah praktis yang disepakati dibagi dalam empat bidang, yakni, pendidikan, kebudayaan, media-massa, dan kepercayaan serta masyarakat. Dalam deklarasi itu juga disepakati untuk mendorong pemerintahan negara-negara Asia dan Eropa agar mengakomodasi masuknya pelajaran atau materi dialog antaragama dalam kurikulum pendidikan mulai setelah Sekolah Dasar.
* ASEAN Declaration On Cultural Heritage Bangkok, Thailand, 24-25 July 2000
o MINDFUL of the vast cultural resources and rich heritage of civilizations, ideas and value systems of ASEAN, and cognizant of the need to protect, preserve and promote their vitality and integrity;
o COGNIZANT of the aspirations of all ASEAN peoples for a regional order based on equal access to cultural opportunities, equal participation in cultural creativity and decision-making, and deep respect for the diversity of cultures and identities in ASEAN, without distinction as to nationality, race, ethnicity, sex, language or religion;
o FULLY AWARE that cultural creativity and diversity guarantee the ultimate viability of ASEAN societies;
o AFFIRMING that all cultural heritage, identities and expressions, cultural rights and freedoms derive from the dignity and worth inherent in the human person in creative interaction with other human persons and that the creative communities of human persons in ASEAN are the main agents and consequently should be the principal beneficiary of, and participate actively in the realization of these heritage, expressions and rights;
o UNDERSTANDING that cultural traditions are an integral part of ASEAN’s intangible heritage and an effective means of bringing together ASEAN peoples to recognize their regional identity;
o DETERMINED to achieve substantial progress in the protection and promotion of ASEAN cultural heritage and cultural rights undertakings through an increased and sustained program of regional cooperation and solidarity, which draws sustained inspiration from the deep historical, linguistic, and cultural unity and linkages among Southeast Asian peoples.
o CONSIDERING that the erosion or extinction of any tangible or intangible cultural heritage of ASEAN constitutes a harmful impoverishment of human heritage;
o FULLY AWARE of the threat of cultural loss, rapid deterioration of living traditions of creative and technical excellence, knowledge systems and practices and the disappearance of worthy heritage structures due to tropical climate, inappropriate development efforts, illicit trade and trafficking, or the homogenizing forces of globalization and other major changes taking place in ASEAN societies;
o CONCERNED that the increasing dominance of market forces, mass production and consumerist orientation in contemporary industrial society can undermine human dignity, freedom, creativity, social justice and equality.
o OBSERVING that the protection of this heritage often cannot be fully undertaken at the national level because of the magnitude of economic and technical resources it requires and can only be undertaken through the collective action of ASEAN and assistance of the international community, which, although not a substitute, can effectively complement the initiatives of the Member Countries concerned;
o AFFIRMING the importance of cultural discourse, awareness and literacy in enhancing intra-cultural and inter-cultural understanding and deeper appreciation of ASEAN cultural heritage, as essential for peaceful coexistence and harmony in ASEAN, both at the national and regional levels;
o REAFFIRMING the commitment to an ASEAN community conscious of and drawing inspiration from its deeply shared history, cultural heritage and regional identity, as enshrined in the ASEAN Vision 2020 adopted by the ASEAN Heads of State/Government in December 1997;
o ACKNOWLEDGING the work of the ASEAN Committee on Culture and Information (COCI) in its efforts to promote awareness and appreciation of the cultural heritage of ASEAN and to enhance mutual understanding of the cultures and value systems among the peoples of ASEAN;
o DO HEREBY DECLARE the following policies and programmes as a framework for ASEAN cooperation on cultural heritage :
1 Development and Implementation Of An Asean Program On Cultural Heritage
2 Allocation Of Resources For Cultural Heritage Activities
3 Development of National And Regional Networks On Asean Cultural Heritage
4 Integration Of Culture And Development
5 Commercial Utilization Of Cultural Heritage And Resources
6 Prevention Of The Illicit Transfer Of Ownership Of Cultural Property
7 Recognition Of Communal Intellectual Property Rights
8 Advancement Of Cultural Heritage Policy And Legislation
9 Affirmation Of Asean Cultural Dignity
10 Enhancement Of Cultural Education, Awareness And Literacy
11 Preservation Of Past And Living Popular Cultural Heritage And Traditions
12 Preservation Of Past And Living Scholarly, Artistic And Intellectual Cultural Heritage
13 Sustentation Of Worthy Living Traditions
14 Protection Of National Treasures And Cultural Properties
15 Definition Of Culture And Cultural Heritage
16 National And Regional Protection Of Asean Cultural Heritage
* Deklarasi on the Right of Indegenous People
"The Declaration does not represent solely the viewpoint of the United Nations, nor does it represent solely the viewpoint of the Indigenous Peoples. It is a Declaration which combines our views and interests and which sets the framework for the future. It is a tool for peace and justice, based upon mutual recognition and mutual respect."
* Perpres No. 77 tahun 2007 tentang usaha terbuka dan tertutup
Dalam Perpres No. 77 tahun 2007 mengatur dalam hal penanaman modal, di dalamnya diatur bidang usaha yang terbuka terbuka untuk penanaman modal dan yang tertutup, dalam Perpres ini terdapat pula bidang usaha sektor Kebudayaan dan Pariwisata.
1. Daftar Bidang Usaha sektor kebudayaan dan pariwisata Yang Terbuka untuk penanaman modal :
N0
BIDANG USAHA
KBLI
SEKTOR
1
Agen Perjalanan Wisata
63420
Kebudayaan dan Pariwisata
2
Sanggar Seni
92142
Kebudayaan dan Pariwisata
3
Usaha Jasa Pramuwisata
63430
Kebudayaan dan Pariwisata
2. Daftar Bidang Usaha sektor kebudayaan dan pariwisata Yang Tertutup Untuk Penanaman Modal :
N0
BIDANG USAHA
KBLI
SEKTOR
1
Perjudian/Kasino
92429
Kebudayaan dan Pariwisata
2
Peninggalan Sejarah dan Purbakala (candi, keraton, prasasti, petilasan, bangunan kuno,temuan bawah laut, dsb)
92323
Kebudayaan dan Pariwisata
3
Museum
92321
Kebudayaan dan Pariwisata
4
Pemukiman/Lingkungan Adat
92323
Kebudayaan dan Pariwisata
5
Monumen
92324
Kebudayaan dan Pariwisata
UU
UU No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman
UU No. 32 tahun 2004 tentang OTODA
UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran
UU No. 9 tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Rekaman
UU No. 7 tahun 1971 tentang Kearsipan
Kepres
Kepres tentang Perutusan Kebudayaan
sumber: Joe Marbun
Jika menurut Anda artikel ini bermanfaat, silahkan vote ke Lintas Berita agar artikel ini bisa di baca oleh orang lain.
1 komentar:
keren...
Posting Komentar
Pengunjung yang baik tentunya memberikan Komentar,kritik serta saran yang sopan disini, Terima kasih atas komentar dan kunjungan nya